Lembaga Adat Kadilangu Bongkar Kebenaran Sejarah Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga

DEMAK, Lingkar.news – Ketua Lembaga Adat Kadilangu Raden Agus Supriyanto mengisahkan tentang sejarah Tradisi Penjamasan Pusaka Raden Sahid atau Sunan Kalijaga Demak yakni Keris Kyai Carubuk dan Kotang Ontokusumo oleh ahli waris.

Tradisi tersebut biasanya digelar berbarengan dengan Grebeg Besar Demak yang diperingati pada tanggal 10 Dzulhijah atau tepat pada peringatan Hari Raya Idul Adha (Hari Raya Kurban). 

Event Grebeg Besar Demak identik dengan iring-iringan Prajurit Patang Puluhan dan Tradisi Penjamasan, biasanya pemerintah daerah melaskanakan pisowanan terlebih dahulu ke ahli waris Sunan Kalijaga. 

Kendati itu, menurut Agus, iring-iringan Prajurit Patang Puluhan dan pisowanan bukan merupakan rangkaian dari tradisi penjamasan, namun hanya sebagai upaya pemerintah daerah agar menarik wisatawan yang dimulai pada 1977 atau era pemerintahan Bupati Demak, Winarno Surya Adi Subraya. 

“Diadakan sekitar tahun 1977 kalau tidak salah, itu kan kemasan dari Pemda Demak untuk menaikkan kepariwisataan itu,” katnya, baru-baru ini.

Kemudian, lanjutnya, adanya Prajurit Patang Puluhan mengambil dari cerita sejarah ketika Raden Fatah menyerang Majapahit, Sunan Kalijaga menugaskan 40 santrinya untuk membantu Raden Fatah.

“Santri pilih tanding untuk menyerang Majapahit, itu versinnya Ki Dalang Nato Sabdo, lah mungkin itu dikemas oleh Pemkab Demak jadi prajurit Patang Puluhan,” sambungnya.

Agus menambahkan dari masa ke masa muncul suatu ide bahwa Prajurit Patang Puluhan, kemudian Lurah Tamtomo memberikan minyak jamas untuk diberikan ke Kadilangu yang seolah-olah minyak jamas tersebut dari pihak pemerintah.

“Di era Bupati Demak Endang Styaningdyah sudah pernah komplain ke Pemkab Demak yang membuat pernyataan seolah minyak itu dari pemerintah. Ini pusaka Sunan Kalijaga, bukan pusaka Pemda Demak yang seolah berada di Kadilangu,” katanya. 

Pihaknya menolak pernyataan tersebut yang dinilai ahli waris adalah hanya sebagai tukang jamas saja, pasalnya minyak jamas tersebut yang membuat adalah dari pihak ahli waris. 

“Kita kesannya tukang cuci tukang jamasi tidak seperti itu. Apakah bisa Pemkab Demak buat minyak, tidak bisa itu minyak jamas yang sudah jadi dipinjam, jadi sorenya dipinjam paginya dibawa ya kita hormati saja,” ujarnya. 

Dengan adanya komplain dari pihak ahli waris, Bupati di era tersebut berkunjung ke pihak Kadilangu untuk bersilaturahmi meminta maaf yang mana mulai dari situlah muncul pisonawanan. 

“Nah seperti inilah pisowanan, klaim sekarang. Jadi kalau orang bilang pisowanan sejak era Raden Fatah ya tidak ada,” ujarnya.

Apabila pisowanan dan Prajurit Patang Puluhan masuk dalam rangkaian penjamasan pusaka Sunan Kalijaga, pihaknya menilai hal tersebut tidak benar. 

“Padahal, semua sejarah mencatatkan ketika Kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang Sunan Kalijaga masih hidup. Tidak mungkin ada acara penjamasan, dialeg atau Adipati Demak penjamasan seolah beliau (Sunan Kalijaga) sudah meninggal kan tidak nyambung, ini tidak benar,” tuturnya. 

Agus juga menjelaskan terkait pembuatan minyak jamas ada syarat khusus sekaligus yang membuat bukan orang sembarangan. 

“Syarat pembuatan minyak jamas itu harus dilakukan oleh trah Sunan Kalijaga dari perempuan yang sudah menopause dan melakukan syarat puasa sebelumnya. Saya harus memberikan edukasi sejarah yang benar, sejarah ini tidak boleh dibolak-balik,” jelasnya.

Agus berharap generasi muda bisa mendapatkan edukasi sejarah yang tidak terlalu melenceng bahwasanya pisowanan bukanlah tradisi turun temurun sebelum adanya Grebeg Besar. Pasalnya pisowanan pertama dilakukan di era Bupati Demak Endang Styaningdyah yang diteruskan hingga era kepemerintahan Demak sekarang. (Lingkar Network | M Burhanuddin Aslam – Lingkar.news)